Wartadki.com|Bogor-Berdasarkan catatan tahunan yang dikeluarkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di tahun 2020 bahwa sebanyak 203 perempuan dengan HIV kerap kali mengalami kasus kekerasan fisik dari pasangan mereka (KDRT).
Sebanyak 32% dari 247 perempuan dengan HIV di DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat (hasil study QoC & GBV, 2022) juga mengalami kekerasan. Namun, kasus kekerasan yang dialami sebagian besar selesai dengan cara kekeluargaan dan mediasi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Jaringan Indonesia Positif (JIP) saat menggelar Media Briefing di Hotel Royal Kota Bogor, Rabu (24/08/2022).
Jaringan Indonesia Positif (JIP) atau The Positive Indonesia Network merupakan organisasi sosial yang memiliki tujuan untuk pemenuhan hak kesehatan melalui sistem dukungan sebaya dalam kerangka HAM dan kesetaraan gender.
Menyikapi hal tersebut, JIP bersama komunitas rentan (komunitas orang dengan HIV) dan CSO melakukan pendokumentasian kasus melalui diskusi terkait kasus kekerasan terhadap perempuan dengan HIV di 13 kota/kabupaten di wilayah DKI, Banten dan Jawa Barat.
“Sangat penting untuk komunitas, jika kekerasan tersebut masih tetap terjadi dan tidak ada penanganan yang konprehensif, maka ini akan berdampak buruk terhadap penyintas dan tentu menghambat pemerintah dalam mengakselerasi penanganan HIV di Indonesia,” ujar Deputi Program JIP Timotius Hadi kepada media.
Hadi menjelaskan, sejak 2 tahun terakhir JIP terus bersinergi dengan layanan kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas untuk mendorong layanan kesehatan yang nyaman dan mudah diakses oleh komunitas orang yang hidup dengan HIV dan komunitas yang rentan terinfeksi HIV.
“Ini merupakan bentuk komitmen JIP dalam upaya mendukung pemerintah untuk mencapai target ending AIDS 3 Zero yaitu Zero New Infection, Zero Death dan Zero Discrimination di tahun 2030,” paparnya.
“Bagaimana agar target tersebut bisa tercapai jika masih terjadi kekerasan dalam bentuk stigma dan dikriminasi yang dialami oleh orang dengan HIV dan orang yng rentang terinfeksi HIV. Apalagi jika kekerasan tersebut menyebabkan keegganan mereka untuk tes maupun pengobatan,” imbuhnya.
Dari hasil monitoring, menurut Hadi, mereka yang mengalami kekerasan enggan datang ke layanan kesehatan serta masih banyak petugas di fasilitas kesehatan yang perlu mendapatkan peningkatan kapasitas konseling dan pemahaman KTPA (Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak. Selain itu juga masih belum ada alokasi anggaran yang jelas dari pemerintah terkait penanganan KTPA.
“Penanganan KTPA ini sangat perlu keterlibatan berbagai sektor sehingga diperlukan koordinasi yang jelas dalam memastikan peran masing-masing sektor dalam penanganan tersebut di tingkat kabupaten/kota hingga kecamatan dan kelurahan/Desa.”
“Ini sesuai dengan 3 program utama dalam Advocate for Health, pertama Pengembangan dan peningkatan sinergitas antara komunitas dengan penyedia layanan kesehatan melalui pemantauan yang diinisiasi dan dipimpin oleh komunitas, Kedua Pelaksanaan upaya advokasi yang bersifat solutif dan kolaboratif bersama pembuat dan pemangku kebijakan atas pemanfaatan data di dalam setiap perumusan peraturan perundang-undangan dan kebijakan, Ketiga Peningkatan kapasitas SDM dan komunitas dalam proses pengumpulan dan analisis data,” tegasnya.
JIP bersama komunitas rentan menyampaikan rekomendasi terkait penanganan KTPA, antara lain, meminta dinas kesehatan kabupaten/kota untuk mendorong puskesmas membentuk poli KTPA, mendorong peningkatan intensitas di tingkat kecamatan, standrisasi penangann KTPA di puskesmas, update media informasi dan direktori kontak layanan penanganan KTPA.
Semoga dengan semakin banyak informasi yang diterima oleh orang dengan HIV mereka akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik lagi,”