DKI Jakarta- Meski terancam di PHK Serikat Pekerja ( SP) JICT masih terus melanjutkan aksi mogok kerja . Hari ini adalah hari ke – 2 , dan mereka menuntut agar direksi dan managemen SP JICT memperhatikan tuntutan mereka bukan malah menyudutkan . Seperti yang diungkapkan penanggungjawab koordinator lapangan, Hazris Malsyah “Kami sadar sepenuhnya bahwa aksi mogok kerja kami ini sangat merugikan negara dan juga merugikan pihak-pihak terkait maka dari itu tolong bapak-bapak direksi perhatikan kami, minimal ada negoisasi “. ungkapnya kepada awak media ditengah aksi demo.
Menurut Hazris Malsyah, menyayangkan dan merasa pihak BUMN dan Pelindo II sendiri tidak ada tanggapan sama sekali, malah mewakilkan kepada kuasa hukum, menurut mereka ini adalah persoalan iternal. “Aksi penyelamatan aset nasional JICT dilakukan sejak tahun 2014, namun coba dibusukkan oleh gerakan yang sistematis, masif dan terstruktur oleh beberapa pihak dengan isu gaji besar pekerja. Sesungguhnya tidak seorang pun, berapa pun besarnya penghasilan, akan merelakan haknya dirampas” tegas Hazris.
Sementara itu, Sekertaris Jenderal JICT Firmansyah dalam siaran persnya menyatakan,  Serikat Pekerja JICT mengecam dikeluarkannya 541 Surat Peringatan Pertama kepada Pekerja yang Mogok. Serikat Pekerja JICT mengecam keras aksi Direksi yang memberikan surat peringatan tingkat pertama kepada 541 pekerja yang mengikuti mogok kerja.
Padahal Sudinaker Jakarta Utara tidak pernah mengeluarkan pernyataan mogok JICT sah atau tidak namun tindakan Direksi JICT mendahului otoritas yang berwenang dan menantang Undang-Undang. Upaya Direksi JICT patut diduga sebagai upaya intimidasi dan pemberangusan terhadap aksi Serikat Pekerja.
Alih-alih mencari solusi win-win, Direksi JICT seolah membiarkan mogok terjadi dengan kerugian perusahaan dan pengguna jasa mencapai ratusan miliar.
Yang bergaji jauh lebih besar yakni diatas Rp 2,5 milyar per tahun diduga sengaja wanprestasi terhadap hak-hak pekerja dan membiarkan JICT rugi ratusan miliar rupiah akibat mogok kerja. Prestasi buruk Direksi ini patut dicurigai bagian dari gerakan memuluskan penjualan aset nasional JICT.
Pendapatan perusahaan yang besar atau mencapai Rp 3,5-4 triliun per tahun, diduga menjadi sumber bancakan korupsi bagi direksi dan investor Hutchison serta pihak-pihak lain untuk terus mengamankan perpanjangan kontrak JICT.
Tercatat, sejak tahun 2015, JICT telah melakukan super efisiensi besar-besaran karena beban sewa perpanjangan kontrak JICT USD 85 juta/tahun padahal pendapatan perusahaan naik 4,6 % di tahun 2016.
Jadi perpanjangan kontrak JICT jilid II (2015-2039)Â yang dilakukan Pelindo II kepada Hutchison, telah terbukti , tidak ada nilai tambah karena melanggar UU, merugikan negara, pekerja dan JICT sendiri dalam jangka waktu panjang.
Untuk itu, perjuangan terhadap hak-hak pekerja karena dampak perpanjangan kontrak JICT menjadi penting. Namun hal yang tidak kalah penting adalah, bagaimana menyelamatkan aset nasional JICT yang masa kontrak jilid I habis di tahun 2019, agar bisa dikelola bangsa sendiri sesuai visi kemandirian nasional. (Dewi)