Oleh: DIAN FARIZKA, Mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum Universitas Krisnadwipayana dan Dosen Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta
Dewan Perkawakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sepakat untuk segera mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan), kesepakatan itu diambil dalam rapat kerja antara Komisi III dengan Menteri Hukum dan HAM, pada hari Selasa,(17/9).
Salah satu pasal yang di sepakati adalah pemberian pembebasan bersyarat terhadap warga binaan dalam perkara tindak pidana korupsi. Setelah undang-undang ini disyahkan maka Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan dibatalkan/dicabut dan yang akan diberlakukan adalah PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, PP Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan dan PP Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan.
DPR dan Pemerintah patut diberikan apresiasi dan membentuk terobosan hukum sesuai perkembangan zaman, revisi UU Pemasyarakatan sebentar lagi akan diparipurnakan khusunya suatu warga binaan mendapatkan suatu kesamaan di muka hukum tanpa kecuali, bukan hanya warga binaan dalam perkara tindak pidana umum untuk mendapatkan remisi, pembebasan bersyarat, asimilasi dancuti menjelang bebas tetapi berlaku juga untuk tindak pidana khusus dan itupun dijamin oleh konstitusi dan juga diambil sebagaimana Putusan Mahkamah No. 34/PUU-XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 (hal. 84-85), Mahkamah telah menegaskan bahwa “Prinsip negara hukum yang telah diadopsi dalam UUD 1945 meletakkan suatu prinsip bahwa setiap orang memiliki hak asasi (HAM), yang dengan demikian mewajibkan orang lain, termasuk di dalamnya negara, untuk menghormatinyaâ€. Mahkamah juga menyatakan bahwa “Kewajiban negara untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai prinsip negara hukum yang demokratis mengharuskan pelaksanaan HAM dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal demikian sesuai pula dengan prinsip negara hukum yang demokratis, yaitu due process of lawâ€. Lebih lanjut Mahkamah menegaskan bahwa “Terkait dengan penegakan dan perlindungan HAM yang juga merupakan hak konstitusionalâ€.
Sejarah Remisi
Di masa lalu, remisi digunakan untuk melunakkan keadaan dimana hukum sulit untuk ditoleransi karena begitu sangat keras dan kaku. Istilah pengampunan dalam konteks hukum pertama kali ditemukan dalam hukum perancis. Sejak dulu remisi telah ditetapkan untuk menjadi hak yang diberikan kepada seorang pemimpin. Presiden atau raja, dipandang memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan dengan bijak dan adil;
Pemberian remisi didasarkan pada wewenang toleransi atas dasar rasa kemanusiaan dan hak dan/atau kewajiban warga negara dengan berbagai pertimbangan, entah itu untuk alasan yang sifatnya politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.
Pada masa Yunani kuno tahun 403 SM, remisi pertama kali diputuskan oleh Thrasybulus, yakni seorang jenderal tinggi Yunani dan diberikan kepada orang yang telah dinyatakan bersalah karena mendukung lawan politiknya yang sebelumnya sudah ia gulingkan kekuasaannya. Mulai dari situlah konsep konsep mengenai remisi mulai dikembangkan;
Remisi yang diberikan oleh warga binaan dengan tujuan untuk mengurangi hukuman atau masa tahanan. Jika remisi diberikan dengan mengganti suatu hukuman dengan hukuman lain yang lebih ringan, maka tindakan tersebut dinamakan komutasi. Penjara, sejalan dengan kebijakan perubahan penjara dengan sistem kepenjaraan. Sistem kepenjaraan menempatkan remisi sebagai anugerah. Artinya remisi adalah anugerah dari pemerintah kepada warga binaan. Dalam Gestichten Reglement, remisi hanya diberikan pada hari ulang tahun Ratu Belanda. Berdasarkan hal ini remisi hanya benar-benar anugerah belaka;
Remisi diberikan bagi narapidana yang berbuat jasa kepada negara atau kemanusiaan, melakukan perbuatan yang membantu Lembaga Pemasyarakatan. Jasa pada negara dimaksud dengan berbuat jasa pada negara adalah jasa yang bersifat politis yang diberikan dalam perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup Negara. Sedangkan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan antara lain: 1). Menghasilkan karya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan; 2). Ikut menanggulangi bencana alam; 3). Mencegah pelarian tahanan atau narapidana (dibeberapa negara pelarian dikenakan hukuman disiplin dan dibatalkan anugerah pengurangan hukumannya dan hadiah, tapi narapidana yang menggagalkan mendapat sebaliknya); 4). Menjadi donor organ tubuh dan sebagainya.
Pada masa orde lama pemerintahan Soekarno mempelopori pengaturan pemberian remisi melalui Keppres Republik Indonesia Serikat Nomor 156 Tahun 1950 Tentang Remisi. Soekarno, mengatakan “remisi diberikan setiap peringatan proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustusâ€. Perubahan ini disambut dengan kelegaan hati rakyat Indonesia, sebab setiap ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia banyak narapidana yang mendapatkan remisi. Sejak tahun 1950 remisi tidak lagi sebagai anugerah, tetapi menjadi hak setiap narapidana;
Tujuan akhir dari pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan adalah untuk mengubah perilaku narapidana (yang semula jahat, tersesat), menjadi orang yang baik. Narapidana telah dapat menunjukkan adanya hasil perubahan perilaku menjadi baik, kepadanya diberikan beberapa hak yang bertujuan untuk mengurangi penderitaannya. Semakin cepat menunjukkan perubahan perilaku sebagai hasil dari pembinaan itu selama berada dalam lembaga pemasyarakatan, semakin cepat pula diakhiri atau dikurangi penderitaannya.