Wartadki.com|JAKARTA – Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, baru saja menyelesaikan serangkaian kunjungan diplomatik ke lima negara utama: China, Amerika Serikat, Peru, Brasil, dan Inggris. Dalam kunjungan ini, Indonesia berhasil mengamankan komitmen investasi senilai total US$ 18,5 miliar, mencakup berbagai sektor strategis seperti energi, infrastruktur, dan teknologi.
Komitmen terbesar datang dari China dengan nilai US$ 10 miliar, disusul oleh British Petroleum senilai US$ 7 miliar, serta kontribusi dari beberapa perusahaan Inggris sebesar US$ 1,5 miliar. Dalam CEO Roundtable Forum di Lancaster House, London, Prabowo menegaskan bahwa keberhasilan ini adalah bukti meningkatnya kepercayaan global terhadap stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.
“Ini adalah langkah awal untuk memperkuat daya saing Indonesia di kancah internasional. Tata kelola yang bersih dan efisien menjadi daya tarik utama bagi para investor,” ujar Presiden Prabowo.
Menteri Investasi dan Hilirisasi, Rosan Roeslani, menambahkan bahwa transisi pemerintahan yang damai memberikan rasa percaya diri kepada para pelaku usaha internasional. “Kita akan tindak lanjuti komitmen ini dengan memperkuat koordinasi di dalam negeri untuk memastikan realisasi investasi ini berjalan dengan baik,” kata Rosan.
Setelah Inggris, Prabowo dijadwalkan melanjutkan kunjungannya ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab pada 23 November untuk mengeksplorasi lebih lanjut potensi kerja sama di bidang energi dan inovasi teknologi.
Dari Komitmen ke Realisasi, Tantangan Diplomasi Ekonomi Prabowo
Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke lima negara strategis memang membawa angin segar bagi ekonomi Indonesia. Dengan komitmen investasi sebesar US$ 18,5 miliar, momentum ini menjadi pijakan awal untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai destinasi investasi global. Namun, apakah komitmen ini akan berbuah manis atau hanya menjadi catatan indah di atas kertas?
Keberhasilan diplomasi ekonomi ini tidak bisa dilepaskan dari stabilitas politik Indonesia. Prabowo dan timnya dengan cermat memanfaatkan transisi pemerintahan yang damai sebagai modal untuk meyakinkan investor global. Narasi tata kelola yang bersih dan efisien menjadi daya tarik yang sulit ditolak. Namun, sejarah investasi di Indonesia menunjukkan bahwa hambatan birokrasi, regulasi yang tumpang tindih, dan implementasi yang lambat sering menjadi batu sandungan.
Selain itu, tantangan global seperti ketidakpastian ekonomi dan dinamika geopolitik juga harus diantisipasi. Investor asing tentu menginginkan kepastian hukum dan stabilitas jangka panjang sebelum mencairkan dana mereka. Pemerintah Indonesia harus segera bergerak untuk menciptakan ekosistem bisnis yang lebih kompetitif, termasuk memangkas regulasi yang menghambat, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memastikan transparansi dalam setiap tahap proyek.
Keberlanjutan dan pemerataan juga harus menjadi perhatian utama. Investasi besar seperti ini sering kali terpusat di wilayah-wilayah tertentu, sementara daerah lain tertinggal. Pemerintah harus memastikan bahwa manfaat ekonomi dari investasi ini dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya segelintir pihak.
Langkah Presiden Prabowo sudah berada di jalur yang benar, tetapi perjalanan ini masih panjang. Realisasi investasi adalah ujian sejati bagi kredibilitas pemerintah. Jika berhasil, ini akan menjadi warisan besar yang tidak hanya meningkatkan perekonomian nasional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia di panggung global. Namun, jika gagal, peluang besar ini hanya akan menjadi janji tanpa makna. (Saskia)