Wartadki.com|Jakarta, — Roni Prima Panggabean Kuasa Hukum Keluarga Korban Eduard Hasiholan Panggabean yang meninggal akibat Dugaan Malapraktik di RSU Martha Friska Multatuli, Medan mendatangi Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Hukum & HAM, Ikatan Dokter Indonesia dan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia.
Menurut Roni Prima Panggabean, Managing Partner Kantor Hukum Roni Prima & Partners yang berkedudukan di Setiabudi Kuningan, Jakarta Selatan bersama tim hukum Bang Nugra & Nuel menyebutkan bahwa secara resmi melakukan pengaduan atas tindakan RSU Martha Friska Multatuli, Medan, Sumatera Utara, yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur dalam hal ini dugaan kuat malapraktik yang mengakibatkan kematian Eduard Hasiholan Panggabean.
Lebih lanjut dijelaskannya, bahwa Keluarga Korban telah mempertanyakan dan kematian abangnya ke RSU tersebut sebanyak 4 kali, namun tidak ada sama sekali tanggapan dan pertangungjawaban pihak RSU Martha Friska Multatuli, Medan, Sumatera Utara.
Kejadiannya berawal pada tanggal 09 September 2024 korban Eduard dirujuk ke R.S.U Multatuli Medan, berdasarkan rujukan dari RS Santai Lusia, Siborong-borong, Sumatera Utara.
Keluarga korban membawa tiba di R.S.U. Martha Friska Multatuli Medan sekitar Pukul 02.00 Wib dinihari. Ketika itu, korban di R.S. tidak dalam keadaan kritis dan masih dapat makan secara normal di R.S tersebut sambil bercerita bersama keluarga.
Sekitar kurang lebih pukul 10.00 Wib pagi, perawat datang berkata kepada korban, izin pak biar saya suntik dan perawat segera melakukan tindakan suntik obat Infimycin Azithromycin Dihydrate serbuk infus IV 0,5 g melalui jalur urat vena pada tangan kiri.
Pada saat penyuntikan dilakukan perawat melakukan pengehentian sementara aliran saluran botol infus menunggu selesai penyuntikan melalui saluran vena, dan perawat segera pamit keluar setelah melakukan penyuntikan.
Berselang hitungan menit pasca tindak penyuntikan, keluarga korban melihat adanya reaksi obat terhadap korban, seketika itu korban meronta dan merintih kesakitan sambil korban berkata apa ini panas kali , korban sambil menggigit lidah menjerit kesakitan dan tergeletak dengan posisi tertidur dan mengerang kesakitan sampai hilang nyawa korban dalam hitungan menit.
“Keluarga korban/klien kami menjerit minta tolong kearah dokter jaga lantai III, kemudian dokter dan perawat hadir melakukan tindakan pompa dada tetapi klien kami telah melihat korban badan sudah kaku, dingin dan tidak bernyawa,” ujar Roni.
Bahwa pada saat itu juga sekitar Pukul 10.45 Wib dokter menyatakan korban telah meninggal dunia.
Bahwa sejak korban tiba di RSU dokter yang bertanggungjawab inisial dr D.I tidak ada melakukan observasi langsung terhadap pasien hanya pendelegasian kepada perawat.
Bahwa tindakan penyuntikan Infimycin Azithromycin Dihydrate ke urat vena secara langsung, tidak ada ditangani oleh dokter spesialis sebagaimana rujukan R.S pertama, hanya perawat, dan tidak ada konfirmasi kepada keluarga untuk tindakan yang dilakukan kepada keluarga, tahapan penggunaan Infimycin jelas tidak sesuai standar operasional prosedur dan kuat dugaan malapraktik yang akhirnya menghilangkan nyawa pasien dengan seketika.
Keluarga korban bersama dr. Sabar Panggabean (spesialis bedah syaraf, alumni USU yang pernah menjadi dokter teladan Sumatera Utara) sebanyak empat kali telah mendatangi pihak RSU Martha Friska Multatuli sejak korban meninggal akibat dugaan malapraktik tersebut.
Pada kesempatan itu dr. Sabar Panggabean juga menjelaskan standar operasional prosedur yang seharusnya dilakukan, namun dalam hal ini pihak R.S.U. sama sekali tidak menanggapinya.
Kuasa Hukum Korban menuntut agar Menteri Kesehatan, IDI dan Badan Pengawas Rumah Sakit untuk segera melakukan audit investigasi terhadap seluruh jajaran R.S.U Martha Friska Multatuli, Medan dan memerintahkan Direktur RSU bertanggujawab penuh atas kematian korban yang tidak sesuai standar operasional prosedur yang mengakibatkan malapraktik dan berujung kematian, mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum,” tegas Roni dalam keterangannya.