Bisnis Karbon, Peluang Bagi BUMDES
Saskia Ubaidi/ Pustaka Aristoteles
Dekarbonisasi, konsep yang sebelumnya hanya akrab di ruang diskusi akademik dan aktivisme lingkungan, kini mulai mendapatkan momentum di desa-desa Indonesia. Fenomena perdagangan karbon, sering disebut “Bisnis langit” karena berfokus pada emisi tak kasatmata, membuka ruang bagi masyarakat untuk berperan dalam pelestarian lingkungan sekaligus meraih manfaat ekonomi. Meski demikian, jalan menuju keberhasilan yang inklusif dan berkeadilan masih penuh rintangan.
Hakikat dari bisnis karbon adalah perdagangan emisi karbon yang dikelola secara berkelanjutan. Di tengah derasnya perdebatan global soal perubahan iklim, kisah inspiratif dari Hutan Lindung Bujang Raba di Jambi membuktikan bahwa model ini bisa diterapkan dengan nyata. Kawasan hutan seluas 5.336 hektar itu telah memberikan pendapatan hingga Rp 1,3 miliar kepada 1.259 keluarga melalui pasar karbon internasional. Keberhasilan ini tidak hanya menjadi cerita sukses lokal, tetapi juga bukti bahwa desa-desa dapat menjadi aktor utama dalam melindungi bumi.
Namun, bayangan monopoli industri besar dalam bisnis karbon tetap menjadi kekhawatiran. Di sinilah Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) menjadi solusi yang relevan. BUMDES menawarkan mekanisme partisipasi langsung masyarakat desa untuk mengelola kawasan terdegradasi atau area penggunaan lain (APL). Kawasan mangrove di Kalimantan Tengah dan lahan gambut di Kalimantan Barat menjadi laboratorium nyata bagaimana masyarakat dapat diberdayakan melalui pelatihan menghitung kandungan karbon dan menjualnya di pasar.
Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari dukungan pendampingan teknis dan kolaborasi lintas sektor. Masyarakat membutuhkan keterampilan baru untuk mengelola kawasan secara berkelanjutan, sementara sektor swasta memainkan peran penting dalam memberikan insentif dan pendanaan. PT Bumitama Gunajaya Agro, misalnya, telah mengalokasikan Rp 7 miliar untuk mendukung inisiatif karbon di wilayah dampingannya. Regulasi yang berpihak dari pemerintah juga menjadi kunci untuk memastikan transparansi dan keadilan distribusi manfaat.
Bisnis karbon sejatinya merefleksikan amanah Pasal 33 UUD 1945, yang menyatakan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan kawasan hutan, mangrove, atau lahan gambut dalam skema perdagangan karbon memberikan bukti konkret bahwa sumber daya alam dapat menjadi modal ekonomi produktif bagi masyarakat desa. Prinsip keadilan sosial dan gotong royong yang tertanam dalam Pasal 34 UUD 1945 juga tampak dalam distribusi keuntungan dari bisnis karbon berbasis komunitas.
Inovasi seperti Personal Carbon Trading (PCT), yang telah diadopsi di negara-negara seperti Eropa dan Australia, membawa harapan baru. Skema ini memungkinkan individu menjual kuota karbon pribadi mereka, meningkatkan kesadaran akan jejak karbon sekaligus memberi peluang ekonomi. Namun, tanpa infrastruktur dan literasi karbon yang memadai, implementasi di Indonesia berisiko menambah beban masyarakat yang justru seharusnya menjadi penerima manfaat utama.
Dalam lanskap yang lebih luas, bisnis karbon adalah jalan strategis untuk mengatasi krisis iklim sekaligus menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana diamanahkan dalam Pancasila. Pendekatan seperti BUMDES membuktikan bahwa keuntungan dari perdagangan karbon dapat menjangkau hingga ke lapisan masyarakat yang paling bawah. Kolaborasi yang sinergis antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi fondasi agar peluang besar ini benar-benar membawa dampak nyata.
Transformasi dari “Bisnis langit” menjadi langkah strategis yang membumi adalah tantangan sekaligus peluang besar bagi Indonesia. Dengan potensi yang ada, negara ini memiliki modal kuat untuk menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan ekonomi. Kini, saatnya bisnis karbon benar-benar menjadi milik rakyat, bukan hanya sekadar wacana atau monopoli segelintir pihak.