Reklamasi, Pemagaran Laut, dan Amanah Konstitusi untuk Rakyat
Saskia Ubaidi–Pustaka Aristoteles
Indonesia adalah negara maritim yang diberkahi dengan kekayaan alam melimpah, termasuk laut yang membentang luas sebagai sumber kehidupan bagi jutaan masyarakat pesisir.
Namun, praktik reklamasi dan pemagaran laut yang terjadi akhir-akhir ini menunjukkan ironi dalam pengelolaan kekayaan alam tersebut. Alih-alih memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat, seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, tindakan ini justru merugikan lingkungan dan masyarakat kecil, khususnya nelayan.
Pasal 33 Ayat (3): “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebuah organisasi lingkungan hidup di Indonesia yang mengkaji dampak reklamasi dan aktivitas eksploitasi lainnya terhadap lingkungan serta masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Temuan WALHI menunjukkan dampak serius akibat reklamasi, pemagaran laut, dan pertambangan pasir laut terhadap ekosistem pesisir dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kecil.
Reklamasi dan pemagaran laut adalah dua aktivitas berbeda yang sering kali dilakukan dengan tujuan komersial, namun keduanya memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat pesisir.
Reklamasi adalah proses menciptakan daratan baru dengan cara menguruk wilayah perairan, seperti laut, menggunakan material seperti pasir atau tanah. Tujuan utamanya biasanya untuk pembangunan kawasan bisnis, perumahan, atau infrastruktur. Di sisi lain, pemagaran laut adalah tindakan membatasi akses masyarakat ke wilayah laut tertentu dengan memasang pagar atau penghalang, seringkali untuk melindungi proyek eksklusif atau kepentingan komersial.
Namun, pemagaran laut memperburuk situasi. Di balik alasan investasi, akses nelayan ke laut yang seharusnya menjadi ruang bersama semakin terbatas. Nelayan tradisional dan masyarakat pesisir yang bergantung pada hasil laut kehilangan mata pencaharian mereka, sementara manfaat dari proyek-proyek tersebut hanya dinikmati oleh segelintir elite ekonomi.
Kedua aktivitas ini memiliki dampak serius terhadap ekosistem pesisir. Reklamasi dan pemagaran laut merusak habitat terumbu karang, menghancurkan tanaman mangrove, mengubah arus laut, serta memicu sedimentasi yang membahayakan lingkungan. Kerusakan ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, terutama nelayan tradisional yang bergantung pada laut sebagai sumber penghidupan utama.
Praktik seperti ini menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya alam sering kali lebih berpihak pada kepentingan segelintir pihak, tanpa memedulikan dampaknya terhadap masyarakat kecil. Padahal, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya laut harus diarahkan pada keadilan dan kesejahteraan bersama, bukan sekadar menjadi alat akumulasi keuntungan bagi kelompok tertentu.
Namun, mengingat proyek reklamasi sudah berjalan, diperlukan solusi yang mampu menjembatani kepentingan masyarakat, kelestarian lingkungan, dan amanah UUD 1945. Kompromi ini harus memastikan bahwa pembangunan tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi masyarakat pesisir.
Solusi terbaik adalah memastikan seluruh proyek reklamasi dan pembangunan memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sekitar, khususnya nelayan. Langkah-langkah konkret yang dapat dilakukan meliputi penyediaan fasilitas seperti jalur perikanan yang jelas, pusat lelang ikan, cold storage, serta akses pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Selain itu, kawasan reklamasi perlu diarahkan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dalam industri perikanan lokal, seperti produksi ikan asin, terasi, kerupuk udang, dan berbagai olahan hasil laut lainnya. Dengan pendekatan ini, pembangunan dapat menciptakan nilai tambah yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir Jakarta.
Pembangunan juga harus memprioritaskan keberlanjutan lingkungan dengan memulihkan ekosistem yang rusak dan memastikan bahwa dampak reklamasi diminimalkan. Dengan pendekatan yang inklusif dan berkeadilan, proyek ini dapat diarahkan untuk memberikan manfaat bagi semua pihak, bukan hanya segelintir elite sesuai dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menekankan bahwa kekayaan alam harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Inilah bentuk jalan tengah yang seharusnya diterapkan, pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan adil.
Pendekatan ini tidak hanya mempertahankan identitas budaya masyarakat pesisir Jakarta, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk beradaptasi dengan lingkungan baru tanpa kehilangan penghidupan mereka.
Pembangunan yang berkeadilan adalah yang mampu merangkul semua lapisan masyarakat tanpa mengorbankan lingkungan. Bukan sekadar deretan gedung megah yang menjulang, tetapi solusi yang memastikan nelayan tetap melaut, ekosistem pesisir tetap lestari, dan setiap warga menikmati hasil kemajuan. Inilah tantangan sekaligus peluang bagi pemerintah dan pemangku kebijakan, mewujudkan modernisasi yang inklusif dan berkelanjutan, sehingga pembangunan menjadi cerita keberhasilan bersama, bukan sekadar proyek mercusuar indah.