Wartadki.com|Depok, — Ketua Majelis Permusyawaratan pengasuh Pesantren Indonesia (MPW MP3I) DKI Jakarta KH. Abdul Mujib menolak Peraturan Pemerintah tentang pengadaan alat kontrasepsi bagi pelajar.
Menurutnya, dengan peraturan tersebut sama saja menyetujui perzinahan di kalangan pelajar.
“Kalau mendiamkan sama saja sama saja menyetujui potensi perzinahan dan pergaulan bebas di kalangan pelajar. Untuk itu, Kami menolak tegas PP No. 28 Tahun 2024 tentang pengadaan alat kontrasepsi bagi pelajar,”kata Pengasuh Pondok Pesantren As-Sa’adah ditemui seusai pertemuan di Kantor PCNU Kota Depok, Kalimulya, Cilodong.
Kiyai Mujib mengungkapkan keresahannya dalam melihat kondisi saat ini sudah terjadi pergaulan bebas di kalangan pelajar. Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pergaulan bebas di kalangan pelajar.
“Apalagi, dengan adanya peraturan ini sama saja memberikan legalitas dan kemudahan untuk berbuat mesum serta zina. Ini bahaya sekali, dampaknya ke depan adat ketimuran yang mengedepankan sopan santun akan hilang dan luntur. Belum lagi bicara syariah, jelas itu tidak boleh,”terang Wakil Rois Syuriah PCNU Kota Depok ini.
Ketua Dakwah Kiyai Mubaligh Nusantara (DKMN) ini memberikan solusi agar Pemerintah melibatkan tokoh agama melakukan kampanye anti pergaulan bebas. Salah satunya dengan memfasilitasi para Kiyai, Ustadz melakukan kajian-kajian dan diskusi-diskusi dengan anak muda. Yakni seputar tentang pentingnya pengetahuan reproduksi.
“Tentu, kita berharap agar Pemerintah bisa kerja sama dengan agamawan untuk lakukan kampanye dalam upaya perbaikan akhlak anak muda,”harapnya.
Sebagaimana diketahui Presiden Joko Widodo meneken PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja.
Aturan itu diteken Presiden Jokowi pada Jumat, 26 Juli 2024. Dalam Pasal 103 ayat 1 berbunyi upaya kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta pelayanan kesehatan reproduksi.
Sementara, pada ayat 2 tertulis bahwa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi setidaknya berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, menjaga kesehatan alat reproduksi, perilaku seksual berisiko dan akibatnya, keluarga berencana (KB), melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual, serta pemilihan media hiburan sesuai usia anak. **