Wartadki.com|Jakarta, — Psiokolog Mientarsih Abdul Latief, disuruh membayar denda, mengembalikan uang gajinya selama menjabat sebagai Direktur PT Bluebird dan harus membayar ganti rugi dengan nilai total sebesar 140 Miliar rupiah.
Kisah ini berawal dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kemudian putusan Pengadilan Tinggi dan Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa dr Mientarsih Abdul Latief, digugat dan diharuskan membayar denda dan ganti rugi kepada PT Taksi Bluebird dengan nilai total sebesar 140 miliar.
“Putusan ini dirasa sangat tidak adil dan mungkin baru terjadi pertama kali terjadi, dimana gaji selama puluhan tahun bekerja harus dikembalikan dan harus membayar kerugian dengan alasan perusahaan Taksi Blue Bird tidak dipercaya oleh masyarakat terutama Bank nasional maupun internasional, dan saya disuruh membayar sebesar 140 Miliar,” jelas Mientarsih kepada awak media saat disambangi dikediamannya, Sabtu, (27/07/2024).
Menurut Pengusaha Taksi dan psikolog ternama ini. PT Blue Bird Taxi berdiri pada tahun 1971. Pendiri di PT Blue Bird Taxi berjatuhan. Kali ini giliran Mintarsih, yang sahamnya telah diambil secara diam-diam.
Pada tahun 2013 salah seorang direktur, Purnomo yang merupakan adik kandung dari Mintarsih menggugat Mintarsih yang pada saat gugatan, keduanya adalah pendiri, pemegang saham dan direktur PT Blue Bird Taxi. Pada saat gugatan tersebut surat Kemkumham No. AHU.2-AH.01.000-9934, menyatakan bahwa PT Blue Bird Taxi tidak terdaftar di Kemkumham..
“PT Blue Bird Taxi juga belum disesuaikan dengan Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 tahun 1995 dan No. 40 Tahun 2007. Maka gugatan PT Blue Bird Taxi seharusnya tidak dapat diterima di Pengadilan,” jelasnya.
Selain itu Mientarsih menambahkan, Purnomo sang adik juga tidak berhak mewakili Perseroan karena mempunyai benturan kepentingan, karena memiliki saham di PT Blue Bird Taxi maupun di PT Blue Bird (tanpa kata Taxi).
Pada tahun 2000, gaji mulai dibayarkan, meskipun gaji sebagai Direktur dari tahun 1971 sampai dengan 1999 belum dibayar. Tidak pernah terbayang sedikitpun dalam benak Mintarsih bahwa pembayaran gaji ini kelak menjadi malapetaka yang harus dihadapi di usia lanjut dan juga menjadi beban putra putrinya. Dividen dari tahun 1971 sampai saat ini belum juga dibayarkan.
“Setelah puluhan tahun bekerja, sekretaris pribadi Purnomo, membuat kesaksian di pengadilan bahwa Mintarsih kurang berprestasi. Sementara Tiga saksi lainnya yang juga anak buah yang masih aktif bekerja dibawah Purnomo tidak satu-pun memberikan kesaksian bahwa Mintarsih kurang berprestasi,” ujarnya.
Pihak Mintarsih, telah menghadirkan 5 saksi mantan karyawan PT Blue Bird Taxi, yang semuanya menyatakan bahwa Mintarsih rajin bekerja, dan membuat semua desain-desain program komputer untuk kebutuhan sistematisasi di perseroan. Sehingga secara hukum, terbukti bahwa Mintarsih berprestasi.
Mientarsih menyayangkan, Undang-Undang yang menyatakan adanya hak bagi direksi untuk diberi gaji, nyatanya diabaikan oleh Pengadilan. Bahwa semua gaji Mintarsih selama puluhan tahun bekerja harus dikembalikan. Inilah yang dinilai sebagai kepincangan terhadap keadilan.
Mientarsihpun menceritakan kronologi putusan beruntun dari pengadilan yang membuat pihaknya merasa sangat dirugikan.
“Pada tahun 2013 sampai 2016 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi DKI sampai Makhamah Agung semua membenarkan bahwa gaji yang dibayarkan ke Mintarsih harus dikembalikan oleh Mintarsih dan karena suami sudah almarhum, maka pengembalian gaji sebesar 40 miliar ini harus dikembalikan oleh Mintarsih dan putra putri kandung saya. Sedangkan bagian gaji yang belum dibayar selama puluhan tahun sebelumnya tetap tidak pernah dibayar,” jelasnya lesu.
Menurutnya, secara tidak langsung, putusan-putusan tersebut mendukung sistem kerja rodi, seperti yang dahulu terjadi di zaman penjajahan. Ironis sekali, karena kondisi negara sudah merdeka, namun kenyataannya salah satu direksi masih harus merasakan derita kerja rodi yang dilakukan oleh sesama direksi. Sungguh miris sekali, setelah 8 tahun, di saat Mintarsih sudah menjadi lansia, pada tahun 2024, malah harus dibebani dengan perkara pengembalian gaji, dan kerugian immateriil tanpa adanya bukti yang sah, dan dibebankan ke putra-putri karena ayahnya sudah almarhum.
“Masih belum cukup perkara gaji harus dikembalikan, ada lagi tuntutan sebesar 100 miliar, dengan alasan, kerugian berupa nama baik, kehormatan, dedikasi serta prestasi. Nama dan kualitas menjadi rusak dan tercemar terutama tercemar dihadapan perbankan nasional dan international. Semua putusan itu dilakukan tanpa bukti yang sah,” sanggahnya.
Mientarsih keberatan jika anak keturunannya, putra-putri bahkan cucu-cucunya juga diharuskan menanggung beban putusan pengadilan tersebut.
Bahkan Suami dari Mintarsih yang sudah Almarhum juga harus ikut mengembalikan gaji tanpa disebutkan adanya kesalahan dan tanpa adanya saksi.
“Pada kerugian atas dasar gugatan karena Blue Bird dinilai kurang berkembang dan lain-lain, dengan nilai 100 miliar juga tidak ada bukti laporan maupun bukti kerugian beserta rinciannya yang merupakan persyaratan,” ujarnya mempertanyakan kejanggalan.
Bagi Mintarsih, rasa pedih bahwa karier pribadinya harus hancur demi saudara-saudara kandungnya yang keduanya pria, dirasakan bagai air susu dibalas air tuba. Semua gaji yang dijanjikan tidak dibayarkan malah gaji yang telah dibayarkan diminta kembali, padahal dugaan penggelapan saham yang sedang diproses di Mabes Polri belum juga selesai.
“Mekanisme apa yang membuat semua hakim yang memeriksa gugatan ini terkesan tertidur. Akhirnya pada tahun 2024 ini, keponakan-keponakan, yaitu putra dari Chandra yaitu Bayu Priawan dan Adrianto Djokosoetono meminta Pengadilan untuk mengeksekusi 140 miliar,” jelasnya.
Banyak kejanggalan yang diendus oleh Mientarsih dari persoalan ini. Khususnya, penambahan harta kekayaan sang adik kandunh Purnomo yang mengalami kenaikan dan lonjakan yang signifikan. Bahkan berita ini juga sempat menjadi headline dimajalah Forbes Indonesia di tahun 2014.
“Nilai kekayaan Purnomo secara sangat mendadak meroket menjadi 48 % dari kekayaan Lippo yang telah dibina jauh sebelum PT Blue Bird Taxi. Hal ini menjadikan Purnomo menjadi salah satu konglomerat yang dirilis versi majalah Forbea. Namun rupanya Purnomo masih haus kekayaan,” ujarnya sedih.
Sebuah kenyataan bahwa Putusan Pengadilan ini dirasa tidak memenuhi rasa keadilan bagi Mintarsih dan putra-putrinya. Dan berisiko bagi masyarakat banyak yang sedang dalam proses PHK. Dengan sangat mudah putusan ini dapat dijadikan contoh untuk perkara Pengadilan bagi pengusaha yang tidak mau membayar hak kerja dari karyawannya.
Selain itu membuktikan seseorang dapat ditindas melalui prosedur pengadilan semacam ini, dan memperkaya penindas yang disebut sebagai industri hukum,” pungkasnya. (DW)