Wartadki.com|Jakarta, — Putusan majelis hakim pimpinan Sofia Marlianti Tambunan terhadap terdakwa Yanuar Rezananda dan Rian Pratama Akba menuai kontroversi serta menyisakan tanda tanya ada bagi para pencari keadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang mana putusan tersebut dinilai tidak adil, tidak fair, dan mengesampingkan fakta serta keterangan saksi di persidangan.
Yanuar Rezananda dan Rian Pratama Akba dianggap terbukti melakukan tindak pidana penggelapan secara berlanjut dan dijatuhi hukuman 1,2 tahun, pada Kamis, (2/11/2023), keduanya dianggap telah merugikan PT Kencana Bina Lestari sebesar Rp 150 juta.
Mahadita Ginting didampingi Erly Asriyana selaku kuasa hukum terdakwa menyampaikan kekecewaannya atas putusan hakim tersebut, “Apa yang terungkap di persidangan tidak dijadikan pertimbangan bahwa Yanuar adalah orang yang menerima pembayaran hutang dan Rian bukan orang yang punya kuasa untuk menentukan harga jadi kita sangat kecewa, pada prinsipnya kami kecewa pada keputusan itu dan kami nanti berembug dengan keluarga apakah mengajukan banding atau tidak keluarga yang memutuskan, putusan ini sangat mengecewakan kami, saksi tidak dipertimbangkan, pertimbangan Majelis masih absccur tidak jelas, abu abu, perimbangannya tidak fair, saksi ahli dari mereka tidak dihadirkan sementara saksi ahli dari kita tidak dipertimbangkan,” Ungkap Mahadita Ginting.
Menurut penilaian Mahadita Ginting, bahwa putusan majelis hakim selama 1 tahun dan 2 bulan penjara terhadap kedua terdakwa tidak sesuai fakta dalam persidangan. Sebelumnya JPU menuntut terdakwa Rian dan Yanuar masing masing selama 1 tahun 6 bulan penjara. Namun vonis yang diberikan majelis hakim terhadap terdakwa Rian dan Yanuar, merupakan putusan yang abu abu (Obscuur), tidak fair karena menurut hemat kami bahwa vonis tersebut tanpa pembuktian yang hakiki.
Keterangan Ahli dan keterangan sejumlah saksi yang disampaikan dihadapan majelis hakim tidak masuk dalam pertimbangan putusan. Demikian juga dalam nota Pembelaan (Pledoi) Penasehat hukum serta Pledoi kedua terdakwa yang dibacakan dihadapan majelis hakim.
Bahwa didalam nota pembelaan terdakwa telah disampaikan bahwa, awal permasalahan terjadi adanya pembelian 1 mesin untuk keperluan PT. Kencana Hijau Binalestari sekitar tahun 2021. Kedua terdakwa hanya merupakan karyawan yang atasannya adalah Bachtiar selaku penentu setiap kebijakan. Pembelian mesin tersebut telah sesuai spek dan kualitas mesin yang dibutuhkan perusahaan dari penjual PT.BEO.
Setelah dibuatkan berita acara serah terima terhadap mesin dengan harga Rp 3 miliar 300 juta rupiah. Mesin sudah digunakan PT.KHB, tapi timbul permasalahan dengan melaporkan kedua terdakwa dugaan penggelapan uang perusahaan PT.KHB sebesar 200 juta rupiah.
Pada hal, kedua terdakwa tidak mendapatkan uang dari perusahaan kerjanya namun ada pemberian uang dari PT.Beo sebagai presentasi. Uang yang diterima Rian bukanlah uang dari PT.Kencana Hijau Binalestari. Kedua terdakwa merupakan karyawan PT. KHB selaku supervisor dan bukan merupakan penentu harga atau pembuat kebijakan saat pembelian 1 unit mesin seharga Rp 3 miliar 300 juta rupiah tersebut.
Kejadian tersebut telah disampaikan dalam Pledoi terdakwa Yanuar. Menurutnya, pihaknya tidak ada berhubungan dengan pemberian uang dari PT.BEO. Tetapi dirinya mendapat uang transferan dari Rian dimana uang tersebut merupakan pembayaran hutang pribadi Rian kepada Yanuar.
Kedua terdakwa juga menyampaikan, pada saat berkas perkara di Penyidikan, terdakwa mengaku sudah menyiapkan uang pengembalian uang korban dengan nilai lebih dari yang dituduhkan kepada saksi korban PT.KHB dengan restorative Justice. Akan tetapi korban menolak rencana perdamaian hingga berkas perkara disidangkan, namun keterangan terdakwa tidak mendapat pertimbangan dari majelis hakim pimpinan Sofia M Tambunan.
Demikian juga nota pembelaan penasehat hukum terdakwa yang menyatakan, bahwa perkara kedua terdakwa yang dituduh menggelapkan uang PT.KHB sebagaimana Pasal 374 KUHP, tidak benar. Walaupun demikian perkara tersebut bukan merupakan perkara pidana melainkan ranah perdata. “Ada perbuatan tapi bukan ranah pidana melainkan keperdataan”, ucap penasehat hukum terdakwa.
Namun dalam amar putusannya Majelis hakim menolak seluruhnya pledoi penasehat hukum terdakwa. Majelis mengatakan, tidak sependapat dengan Pledoi penasehat hukum terdakwa dan harus dikesampingkan. Oleh karena itu, “Terdakwa pantas dihukum sesuai undang undang yang berlaku”, ucap Sofia di PN Jakarta Utara, dalam sidang offline, 2/11/2023.
Menyikapi putusan majelis hakim yang dinilai kontroversi tersebut, baik penasehat hukum terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Riko Sudibyo, menyatakan pikir pikir sebelum melakukan upaya hukum banding.