Wartadlki.com|Jakarta, – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 7% ke level 6.084, mencatat kejatuhan terdalam sejak pandemi COVID-19 pada 2020. Bursa Efek Indonesia (BEI) terpaksa menghentikan sementara perdagangan (trading halt) setelah IHSG turun lebih dari 5% pada sesi pertama hari ini.
Gejolak di pasar saham ini mencerminkan meningkatnya kekhawatiran investor terhadap kondisi ekonomi domestik dan global, di tengah memburuknya sentimen pasar akibat defisit APBN yang melebar dan penurunan penerimaan pajak yang signifikan.
Defisit APBN dan Penurunan Pajak Memicu Kekhawatiran
Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Februari 2025, APBN mengalami defisit sebesar Rp31,2 triliun atau 0,13% dari PDB, berbanding terbalik dengan surplus Rp22,8 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
Selain itu, pendapatan negara anjlok 20,85%, dengan penerimaan pajak turun drastis hingga 30%. Faktor utama penyebabnya adalah melemahnya harga komoditas serta perubahan dalam sistem pengumpulan pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa tekanan pada pendapatan negara semakin berat, meskipun pemerintah masih mempertahankan proyeksi defisit anggaran 2025 di angka 2,53% dari PDB.
“Kami memahami tantangan yang ada. Namun, program prioritas pemerintah, seperti makan gratis untuk anak-anak dan proyek energi, tetap harus berjalan sebagai bagian dari komitmen untuk kesejahteraan rakyat,” ujar Sri Mulyani dalam pernyataannya.
Para ekonom menyoroti bahwa ketidakseimbangan fiskal ini semakin tajam akibat meningkatnya belanja negara, terutama untuk subsidi energi dan program bantuan sosial, yang menambah tekanan pada APBN.
Investor Asing Tarik Dana, Sentimen Pasar Memburuk
Selain kondisi fiskal yang memburuk, pasar juga diguncang oleh rumor mundurnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Meskipun Istana telah membantah kabar ini sebagai hoaks, kepanikan sudah menyebar di pasar, membuat investor asing menarik dana besar-besaran.
Di sisi lain, daya beli masyarakat yang melemah semakin memperburuk sentimen pasar. Data terbaru menunjukkan deflasi bahan makanan sebesar -0,7%, angka terendah dalam 25 tahun terakhir. Selain itu, impor barang konsumsi turun hingga 20,97% menjelang Ramadan, sesuatu yang jarang terjadi mengingat biasanya permintaan meningkat di periode ini.
Pemerintah Tarik Rp 28 Triliun dari Lelang SUN
Di tengah gejolak pasar saham, pemerintah berupaya mengamankan kondisi fiskal dengan menerbitkan Surat Utang Negara (SUN). Lelang SUN ini direspons positif oleh investor, dengan total penawaran mencapai Rp 61,75 triliun, atau 2,38 kali lipat dari target indikatif.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa tingginya minat investor terhadap SUN menunjukkan kepercayaan global terhadap ekonomi Indonesia, meskipun IHSG tengah terpuruk.
“Tingginya minat investor terhadap SUN ini menjadi bukti bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat,” tegas Sri Mulyani.
Dana hasil penerbitan SUN ini akan digunakan untuk menutup defisit anggaran, menstabilkan kondisi fiskal, serta menjaga momentum pemulihan ekonomi.
Namun, para analis memperingatkan bahwa ketergantungan terhadap utang dalam jangka panjang perlu dikelola dengan hati-hati. Jika strategi fiskal tidak diperbaiki, beban pembayaran utang dan bunga bisa semakin menekan APBN di tahun-tahun mendatang.
Investor Diminta Waspada, Risiko Resesi Mengintai
Dengan kondisi pasar yang masih bergejolak, investor disarankan untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi. Stabilitas nilai tukar rupiah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia akan menjadi faktor utama dalam menentukan arah pasar ke depan.
Analis pasar, Nafan Aji dari Mirae Asset Sekuritas, menyarankan agar investor tetap memegang saham dengan fundamental kuat di tengah situasi yang tidak menentu.
Sementara itu, Hendra Wardana dari Stocknow.id menyoroti risiko di sektor riil akibat meningkatnya PHK massal dan kenaikan kredit macet (NPL) ke level 2,17%.
Dengan semakin buruknya kondisi fiskal dan melemahnya daya beli masyarakat, Indonesia berisiko mengalami perlambatan ekonomi yang lebih dalam. Jika situasi ini tidak ditangani dengan kebijakan yang tepat, bukan tidak mungkin resesi kecil bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan. (Lasasqi)