Konferensi Tingkat Tinggi APEC 2025 yang diselenggarakan di Gyeongju, Republik Korea, pada 31 Oktober–1 November 2025, memang telah berlalu. Namun kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan para pemimpin ekonomi kawasan itu tetap menarik untuk dibahas kembali. Banyak pembaca mungkin bertanya, apa sebenarnya kepentingan Indonesia di forum semacam APEC, dan mengapa Prabowo memilih hadir langsung di tengah situasi global yang serba tidak pasti?
Pertanyaan seperti itu wajar muncul, terutama karena isu diplomasi sering dianggap jauh dari kehidupan sehari-hari. Namun, jika melihat konteks yang lebih luas, keputusan Prabowo untuk hadir justru mencerminkan arah diplomasi Indonesia yang semakin aktif dan memainkan peran penting dalam percaturan regional. APEC adalah forum ekonomi terbesar di kawasan Asia Pasifik, mewakili sekitar 60 persen PDB dunia. Siapa yang hadir di sana, duduk dalam meja perundingan, dan berbicara di ruang-ruang formal maupun informal, akan mempengaruhi arah kebijakan ekonomi kawasan dalam jangka panjang.
Di Gyeongju, Prabowo menunjukkan gaya diplomasi yang semakin menjadi ciri khasnya yaitu terlibat langsung, membangun hubungan personal, dan tidak sekadar menghadiri agenda seremonial. Ia disambut oleh pejabat tinggi Korea Selatan dan kemudian oleh Presiden Lee Jae Myung sebelum sesi utama dimulai. Diplomasi seperti ini jarang terlihat oleh publik, tetapi penting dalam membangun kepercayaan dan membuka peluang kerja sama di masa depan. Dalam hubungan antarnegara, keakraban personal sering berperan sama pentingnya dengan dokumen resmi.
Dalam sesi pertemuan para pemimpin ekonomi APEC, Prabowo menekankan bahwa dunia membutuhkan stabilitas untuk memulihkan ekonomi. Pesan ini menggambarkan posisi Indonesia di tengah ketegangan geopolitik yang terus meningkat. Rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok, gangguan rantai pasok, ketegangan Timur Tengah, hingga kecemasan pasar terhadap resesi global membuat kawasan Asia Pasifik membutuhkan suara yang mampu menjadi penyeimbang. Indonesia melihat dirinya sebagai negara yang dapat menawarkan moderasi, dialog, dan pendekatan inklusif.
Prabowo juga menegaskan komitmen Indonesia pada sistem perdagangan multilateral yang berbasis aturan di bawah WTO. Sikap ini penting, terutama ketika proteksionisme global dan kecenderungan membentuk blok-blok eksklusif semakin menguat. Dengan mengambil posisi ini, Indonesia ingin memastikan bahwa negara-negara berkembang tidak tersingkir dalam arsitektur ekonomi baru yang ditentukan oleh kekuatan besar. Prinsip keterbukaan dan keadilan menjadi pesan utama yang dibawa Prabowo dalam forum tersebut.
Kehadiran Indonesia di APEC juga bertujuan memperkuat posisi dalam rantai pasok regional dan membuka peluang investasi baru. Diplomasi ekonomi semacam ini tidak selalu terlihat hasilnya secara spontan, tetapi akan membentuk fondasi bagi kebijakan jangka panjang, termasuk ekspor, hilirisasi industri, dan teknologi. Dengan hadir langsung, Prabowo memastikan bahwa Indonesia berada dalam ruang pengambilan keputusan, bukan hanya menunggu hasil dari luar.
Lebih jauh lagi, kehadiran Prabowo di Gyeongju menunjukkan bahwa Indonesia tidak ingin hanya mengikuti arus, tetapi ingin ikut menentukan arah percakapan besar tentang ekonomi kawasan. Di era global yang bergerak cepat, pemimpin dituntut bukan hanya kuat di dalam negeri, tetapi juga mampu membawa kehadiran negara di panggung internasional. Prabowo tampak nyaman menjalankan peran ini, membangun jejaring, menjaga hubungan, dan menyampaikan posisi Indonesia dengan lugas.
APEC 2025 mungkin telah usai, tetapi maknanya masih relevan. Kehadiran Prabowo bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari strategi diplomasi yang lebih besar. Indonesia ingin mempertegas tempatnya di Asia Pasifik, dan Prabowo memilih melakukannya melalui diplomasi aktif. Dalam percaturan global yang terus berubah, langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia ingin hadir, ingin didengar, dan ingin diperhitungkan. (Saskia Ubaidi)
