Jakarta 498 Tahun, Kota Yang Terus Membenahi Diri.
Oleh: La Sasqi
Jakarta adalah kota yang telah melewati hampir lima abad perjalanan, dimana setiap abad menggoreskan jejak luka sekaligus rasa kebanggan. Sejak Fatahillah mengibarkan panji Jayakarta pada 22 Juni 1527, tanah ini menjadi panggung sengketa dan pusat perubahan. Penjajah Portugis terusir dari pelabuhan Sunda Kelapa, hanya untuk digantikan oleh Belanda, yang kelak menjadikannya Batavia, ibu kota Hindia Belanda.
Di bawah kekuasaan VOC, kota ini dipagari benteng, dibelah kanal-kanal, dan dijadikan cermin kekuasaan kolonial. Tapi dari balik tatanan ala Eropa itu, tumbuh pula luka yang belum pulih yaitu, kesenjangan, pemusnahan budaya lokal, dan penghisapan sumber daya.

Setelah kemerdekaan, Batavia menjelma menjadi Jakarta, pusat kekuasaan Republik Indonesia, lalu sejak 1960 menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI). Namun kini, seiring pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan (IKN) , status Jakarta beralih menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Meski secara administratif berubah, peran strategis Jakarta sebagai poros ekonomi, budaya, dan mimpi belum usai.
Setiap hari, jutaan orang datang ke Jakarta bukan untuk menetap, tapi untuk bekerja dan berdagang di ibu kota. Mereka pulang-pergi dari Depok, Tangerang, atau Bekasi bukan sebagai warga tetap, tapi bagian dari denyut harian kota ini. Jakarta bukan rumah, tapi sebuah areal ring tinju, tempat orang beradu tenaga, rejeki, dan ketekunan. Di jalanan yang macet, gerbong KRL yang sesak, harapan dan kekecewaan kerap berdampingan. Tak sedikit yang merasa lelah atau dikecewakan oleh kerasnya kota, namun tetap kembali esok hari mencintai Jakarta yang penat, tapi menarik.
Jakarta bukan tanpa luka. Kampung-kampung urban terus terdesak oleh proyek properti, ruang hijau menghilang, dan banjir tetap rutin datang meski janji penanggulangan telah dijalankan oleh kepemimpinan pemerintah kota Jakarta. Di tengah pencakar langit dan jalan layang, hidup warga kelas bawah berjalan di lorong sempit dan hunian padat. Kesenjangan nyata, dan kadang membisu. Namun kota ini terus bertahan, karena warganya memilih bertahan.
Dan tetap saja, Jakarta belum menyerah. Di sela-sela krisis, warganya menolak pasrah. Komunitas-komunitas seperti Gerakan Kampung Kota, Ciliwung Merdeka, hingga Kolektif Taman Tebet menunjukkan bahwa Jakarta bisa dirawat dari bawah. Lahan kosong diubah jadi kebun pangan bersama, lorong sempit disulap jadi taman baca dan ruang bermain, dapur umum muncul saat pandemi. Mereka mungkin tak selalu terlihat, tapi jejak mereka nyata.
Di sisi lain, Jakarta juga mulai berhias. Moda transportasi seperti MRT, LRT, dan TransJakarta kini terintegrasi lewat sistem JakLingko. Trotoar direvitalisasi, jalur sepeda dibangun, kawasan kota tua dipercantik, dan ruang terbuka publik kembali dihidupkan. Jakarta masih punya celah harapan untuk menjadi kota yang lebih manusiawi, meski jalan ke sana tak selalu mudah.
Maka di usia ke-498 ini, Jakarta dihadapkan pada peluang dan pilihan. Ia tak lagi pusat pemerintahan, tapi bisa menjadi pusat peradaban, kota sejarah yang tidak sekadar dikenang, tapi dirayakan dalam bentuk yang adil dan layak. Sebuah kota yang bukan hanya dibangun untuk investasi, tapi untuk dihuni bersama. Jakarta tidak butuh janji bombastis, melainkan komitmen panjang yang konsisten dari kebijakan yang inklusif hingga ruang hidup yang manusiawi. Kota ini mungkin sudah lelah, tapi belum selesai.
Selamat ulang tahun yang ke-498, Jakarta. Tetaplah berdiri, meski kerap diguncang. Tetaplah tumbuh, meski selalu digugat. Dan tetaplah menjadi tempat, di mana harapan tak pernah benar-benar padam.