Pilkada DKI Jakarta, Duel Populer Menentukan Siapa yang Lebih Dekat di Hati Rakyat
Oleh: Saskia Ubaidi, Pemerhati Sosial Budaya dan Pengelola Pustaka Aristoteles
Sebulan menjelang Pilkada di DKI Jakarta, dinamika politik di ibu kota semakin memanas. Berdasarkan survei terbaru dari LSI Denny JA yang dilakukan pada tanggal 16-22 Oktober 2024 di tiga provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta, pasangan Ridwan Kamil-Suswono dari Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) menghadapi persaingan ketat dengan pasangan Pramono Anung-Rano Karno dari PDI Perjuangan.
Berdasarkan survei LSI yang dilakukan pada tanggal 16-22 Oktober 2024, posisi Ridwan Kamil dan Pramono Anung dalam Pilkada DKI Jakarta menunjukkan persaingan yang sangat ketat. Ridwan Kamil yang berpasangan dengan Suswono dari KIM Plus memperoleh elektabilitas sebesar 37,4%, sementara Pramono Anung yang berpasangan dengan Rano Karno dari PDIP sedikit tertinggal dengan 37,1%.
Selisih tipis ini menandakan bahwa keduanya memiliki dukungan yang hampir seimbang di Jakarta, menjadikan Pilkada kali ini sebagai salah satu yang paling kompetitif.
Keduanya memiliki elektabilitas yang hampir seimbang. Namun, pertarungan ini tak hanya soal popularitas, tetapi juga soal siapa yang mampu lebih dekat dengan masyarakat Jakarta, khususnya komunitas Betawi, dan siapa yang didukung oleh mesin partai yang lebih solid.
Popularitas yang Sama Tinggi, Keuntungan atau Tantangan?
Ada Ridwan Kamil dan ada Rano Karno, dua sosok populer di kancah nasional, masing-masing membawa daya tarik tersendiri. Ridwan dikenal sebagai sosok inovatif dengan rekam jejak kepemimpinan yang progresif di Jawa Barat. Di sisi lain, Rano Karno membawa nostalgia sebagai “Si Doel” yang begitu melekat di hati masyarakat Betawi.
Kedekatan Rano dengan komunitas Betawi menjadikan pasangan Pramono sebagai gubernur dan Rano sebagai wakilnya dianggap tepat untuk menawarkan sentuhan budaya Betawi yang autentik. Di tengah suasana Jakarta yang kian modern, akar budaya lokal tetap punya daya tarik tersendiri, menjadikan pasangan ini lebih solid dan mampu meraih hati pemilih Jakarta.
Ridwan Kamil memiliki basis penggemar setia dan popularitas di tingkat nasional. Namun, untuk membangun hubungan emosional yang kuat dengan komunitas Betawi, kekompakan tim KIM Plus sangat diperlukan. Pasangan Ridwan-Suswono (RIDO) harus mengedepankan pendekatan yang personal dan menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu lokal yang relevan bagi masyarakat Betawi, dengan menyesuaikan gaya pendekatan mereka sesuai visi misi yang diusung.
Mesin Politik PDI Perjuangan yang Solid vs Partai Pendukung KIM Plus yang Terpecah
Salah satu temuan kunci dari survei LSI adalah belum ada kekompakan dan dukungan partai-partai pendukung KIM Plus di Jakarta. Banyak pemilih partai pendukung RIDO seperti PKS dan Golkar ternyata lebih condong mendukung Pramono Anung-Rano Karno. Hal ini menunjukkan jarak bak jurang yang terpisah antara keputusan elite partai dan preferensi massa. Hal ini berbeda dengan PDIPERJUANGAN yang tampil solid, di mana loyalitas pemilihnya konsisten dalam mendukung pasangan yang mereka usung. Dengan mesin politik yang lebih terorganisir, PDI Perjuangan memiliki daya tarik yang sulit dikalahkan dalam hal meraih dukungan basis pemilih di Jakarta.
Strategi Terakhir, Siapa yang Akan Unggul?
Pasangan Ridwan Kamil-Suswono perlu memperkuat dukungan dari partai-partai pengusung mereka serta merancang kampanye yang dapat menjangkau hati masyarakat lokal. Di sisi lain, PDIPERJUANGAN dengan pasangan Pramono-Rano memiliki kesempatan besar untuk menguatkan posisinya dengan tetap menjaga soliditas partai dan memanfaatkan ikatan emosional Rano dengan pemilih Jakarta.
Dalam politik, terutama di Jakarta, satu bulan bisa mengubah segalanya. Satu blunder atau strategi yang jitu dapat menentukan hasil akhir Pilkada.
Pertanyaannya kini adalah, apakah Ridwan-Suswono mampu mengatasi tantangan soliditas partai dan kedekatan dengan pemilih lokal, atau pasangan Pramono-Rano akan melangkah lebih jauh, menguatkan dominasi PDI Perjuangan di ibu kota? Kita hanya bisa menunggu, menyaksikan babak akhir yang penuh ketegangan ini.
Pilkada Jakarta kali ini bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan berlatar nostalgia sentimental etnis Betawi. Sebagai kota yang dinamis dan beragam, Jakarta adalah melting–pot tempat bertemunya budaya, identitas, dan aspirasi dari berbagai daerah di Indonesia dan dunia.
Jakarta, dengan keberagaman budaya, ekonomi, dan sosialnya, membutuhkan pemimpin yang mampu merangkul semua elemen masyarakat dalam visi yang menyeluruh untuk masa depan. Di tengah perbedaan yang mewarnai kota ini, Jakarta memerlukan figur yang tidak hanya memahami kompleksitas persoalan urban, tetapi juga mampu memimpin dengan inklusif, memastikan setiap kelompok terwakili dalam kebijakan.
Keterbukaan dalam pengelolaan anggaran menjadi kunci utama untuk mewujudkan transparansi tersebut. Apakah ada visi dan misi dari pasangan calon yang menawarkan keterbukaan ini secara konkret? Bukankah saat ruang partisipasi publik terbuka, masyarakat bisa mengakses informasi tentang alokasi APBD DKI untuk berbagai program, memberikan kritik, serta masukan yang membangun.
Transparansi dalam dokumen perencanaan anggaran memungkinkan publik untuk mengoreksi anggaran yang dinilai tak perlu dan berpotensi boros. Partisipasi ini bukan sekadar bentuk pengawasan, tetapi juga cerminan dari hak masyarakat untuk ikut menentukan arah pembangunan kota yang mereka huni.
Pada akhirnya, Pilkada menawarkan kembali warga Jakarta kesempatan berharga untuk memilih pemimpin daerahnya. Hal ini bukan saja masalah populer, tetapi juga memiliki kemampuan dan komitmen kuat dalam membangun kota yang jujur, transparan, dan berorientasi pada masa depan.
Dengan hanya sebulan tersisa, pertarungan ini masih terbuka lebar.